Selasa, 29 September 2015

Liqo3 IX: umrotul qadha

Sebelum memasuki uraian tentang umratul qadha’ yaitu umrah pengganti. Kita mesti mengetahui tentang perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara Kaum Muslimin Madinah, dalam hal ini dipimpin oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dengan kaum musyrikin Mekkah. Ini terjadi pada pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 setelah beliau hijrah dari Mekah ke Madinah.
Isi Perjanjian Hudaibiyah
Isi dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut adalah:
1)      Tidak saling menyerang antara kaum muslimin dengan penduduk Makkah selama sepuluh tahun.
2)      Kaum muslimin menunda untuk Umroh dan diperbolehkan memasuki kota Makkah pada tahun berikutnya dengan tidak membawa senjata kecuali pedang dalam sarungnya serta senjata pengembara.
3)      Siapa saja yang datang ke Madinah dari kota Makkah harus dikembalikan ke kota Makkah.
4)      Siapa saja dari penduduk Madinah yang datang ke Makkah, maka tidak boleh dikembalikan ke Madinah.
5)      Kesepakatan ini disetujui oleh kedua belah pihak dan tidak boleh ada pengkhianatan atau pelanggaran
Kesepakatan lain dari Perjanjian Hudaibiyah ini adalah siapa saja dari kabilah arab yang lain boleh masuk dalam perjanjian Quraisy atau Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Dan perjanjian ini hanya berlaku bagi laki-laki, sedangkan wanita tidak di ikut sertakan.
Terlaksananya ‘Umratul Qadha’ Pada Tahun Ke Tujuh Hijriyah
Akhirnya, setahun setelah perjanjian ditandatangani dan disepakati, Nabi dan para sahabat dapat memasuki kota Makkah untuk beribadah haji di Ka’bah. Kaum musyrik Quraisy membiarkan mereka tinggal di Makkah selama tiga hari. Kesempatan ini digunakan oleh Nabi untuk memanggil kaum muslim agar bersiap-siap untuk berangkat menunaikan umrah, yang disebut  ‘Umrah al-Qadha’, pengganti umrah yang tidak terlaksana pada tahun sebelumnya karena dilarang kaum musyrik Quraisy.

لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاء اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَلِكَ فَتْحاً قَرِيباً (الفتح: 27)
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan Sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat”. (Al Fath: 27)

Kaum Muslimin menyambut panggilan itu. Ada di antara kaum Muhajirin yang sudah tujuh tahun meninggalkan Makkah, dan kaum Anshar yang memang sudah punya hubungan dagang dengan Makkah sudah rindu sekali hendak berziarah ke Ka’bah. Oleh karenanya anggota rombongan itu telah bertambah 2.000 orang dari 1.400 orang pada tahun yang lalu (tahun ke enam Hijiriyah).
Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, tidak seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedang tersarung. Namun Rasulullah masih selalu khawatir akan adanya pengkhianatan. Seratus orang pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslamah disiapkan berangkat lebih dulu dengan ketentuan jangan melampaui Makkah. Dan bila sampai di Marr’uz Zahran supaya mereka menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari sana. 
Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, tidak seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedang tersarung. Namun Rasulullah masih selalu khawatir akan adanya pengkhianatan. Seratus orang pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslamah disiapkan berangkat lebih dulu dengan ketentuan jangan melampaui Makkah. Dan bila sampai di Marr’uz Zahran supaya mereka menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari sana.
Ternak kurban yang dibawa oleh kaum Muslimin digiring didepan mereka, terdiri dari 60 ekor unta, didahului oleh Muhammad diatas untanya sendiri al-Qashwa’. Kaum Muslimin berangkat dari Madinah dengan hati penuh damba hendak memasuki Ummul Qura (Makkah) dan berthawaf di Baitullah. Setiap Muhajirin menunggu ingin melihat daerah tempat ia dilahirkan, ingin melihat rumah tempat ia dibesarkan, teman-teman yang ditinggalkan. Mereka ingin menghirup udara harum tanah airnya yang suci itu, dengan penuh rasa hormat dan syahdu ingin menyentuh tanah kudus yang penuh berkah itu. Tanah yang telah melahirkan Rasul, dan tempat wahyu pertama kali diturunkan. Orang-orang yang sudah pernah dirintangi hendak menunaikan kewajiban suci itu berangkat dengan penuh kegembiraan, akan memasuki Makkah dalam keadaan aman, dengan bercukur rambut tanpa merasa takut lagi.
Ketika Quraisy mengetahui kedatangan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, mereka segera keluar dari Makkah, sesuai dengan bunyi persetujuan Hudaibiyah. Mereka pergi ke bukit-bukit terdekat dan mereka memasang kemah di tempat tersebut. Ada pula yang berteduh di bawah-bawah pohon. Dari atas bukit Abu Qubais dan dari atas Hira, atau dari semua ketinggian yang dapat langsung tembus Makkah, orang-orang Quraiys hendak melihat kawan-kawannya yang dulu terusir. Kaum Muslimin mendatangi Makkah dari arah utara. Abdullah bin Rawahah saat itu memegang tali kekang Al-Qashwa’ (unta yang ditunggangi Rasulullah), sedang para sahabat terkemuka lainnya berada di sekeliling Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Barisan yang berjalan di belakang mereka itu terdiri dari orang-orang yang berjalan kaki dan yang duduk di atas unta. Begitu Rumah Suci (Ka’bah) terlihat di hadapan mereka, serentak kaum Muslimin menggemakan kalimat talbiyah, “Labbaika, Allahumma labbaika!” Dengan hati dan jiwa tertuju semata-mata kepada Allah Yang Maha Agung.

Berthawaf di Ka’bah
Pada pemandangan yang unik itulah mata penduduk Mekah tertaut. Sementara suara yang keluar dari kalbu menggema: Labbaika, labbaika! tetap menembus telinga dan menggetarkan jantung mereka.
Sesampainya Rasulullah di masjid, beliau menyelubungkan dan menyandangkan kain jubahnya di badan dengan membiarkan lengan kanan terbuka sambil mengucapkan: “Allahuma irham imra’an arahum al-yauma min nafsihi quwatan.” (“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada orang, yang hari ini telah memperlihatkan kemampuan dirinya”)
 Kemudian beliau menyentuh sudut hajar aswad (batu hitam) dan berlari-lari kecil, yang diikuti oleh sahabat-sahabat, juga dengan berlari-lari. Setelah menyentuh ar-rukn’l-yamani (sudut selatan) ia berjalan biasa sampai menyentuh hajar aswad, lalu berlari-lari lagi berkeliling sampai tiga kali dan selebihnya dengan berjalan biasa. Setiap beliau berlari, kedua ribu kaum Muslimin itu juga ikut berlari-lari, dan setiap beliau berjalan mereka pun ikut pula berjalan. Dalam pada itu pihak Quraisy menyaksikan semua itu dari atas bukit Abu Qubais. Pemandangan ini sangat mempesonakan mereka. Tadinya orang bicara tentang Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, bahwa mereka sedang berada dalam kesulitan, dalam keadaan susah payah. Tetapi apa yang mereka lihat sekarang ternyata menghapus segala anggapan tentang kelemahan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu.
Selesai berthawaf mengelilingi Ka’bah, Rasulullah memimpin mereka berpindah ke bukit Shafa dan Marwa yang dilalui dari atas kendaraannya sebanyak tujuh kali, seperti halnya orang Arab dahulu. Kemudian mereka menyembelih ternak kurban dan bercukur. Dengan demikian selesailah ibadah umrah tersebut.
Keesokan harinya (hari ke-2), Rasulullah memasuki Ka’bah dan tinggal disana sampai waktu shalat dluhur. Pada waktu itu berhala-berhala masih banyak memenuhi Ka’bah. Tetapi meskipun begitu, Bilal naik juga ke atap Ka’bah lalu menyerukan adzan untuk menunaikan shalat dluhur di tempat tersebut. Kemudian Nabi shalat dengan bertindak sebagai imam, atas duaribu kaum Muslimin di Rumah Suci itu. Selama tujuh tahun sebelumnya mereka terlarang melakukan shalat menurut pimpinan Islam di tempat itu.
Tiga Hari Di Makkah
Kaum Muslimin tinggal selama 3 hari di Makkah seperti sudah ditentukan dalam Perjanjian Hudaibiya, sesudah kota itu dikosongkan dari penduduk. Selama tinggal di situ kaum Muslimin tidak mengalami sesuatu gangguan. Kalangan Muhajirin menggunakan kesempatan tersebut untuk menengok rumah-rumah mereka dan mengajak pula sahabat-sahabatnya dari pihak Anshar turut menengoknya. Seolah mereka semua adalah penduduk kota yang aman itu. Mereka semua bertindak menurut tuntunan Islam, setiap hari menjalankan kewajiban kepada Rabb mereka dengan melakukan shalat dan samasekali menghilangkan sikap tinggi diri, yang kuat membimbing yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Nabi sendiri di tengah-tengah mereka sebagai seorang ayah yang penuh cinta dan dicintai. Yang seorang di ajaknya tertawa, yang lain di ajaknya bergurau. Tetapi semua yang dikatakannya selalu yang sebenarnya. 
Muslimin Kembali Ke Madinah

Kaum Muslimin sudah sampai dan sudah menetap lagi di Madinah. Dalam pada itu Rasulullah pun yakin bahwa ‘umratul-qadha’ itu telah meninggalkan pengaruh yang cukup besar dalam hati Quraisy dan seluruh penduduk Makkah. Juga beliau yakin bahwa sebagai akibat semua itu akan timbul pula peristiwa-peristiwa penting yang berjalan dengan cepat. 

0 komentar:

Posting Komentar