Sebelum memasuki uraian tentang umratul qadha’ yaitu umrah pengganti.
Kita mesti mengetahui tentang perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah
adalah perjanjian antara Kaum Muslimin Madinah, dalam hal ini dipimpin oleh
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dengan kaum musyrikin Mekkah. Ini
terjadi pada pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 setelah beliau hijrah dari Mekah
ke Madinah.
Isi Perjanjian Hudaibiyah
Isi dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut adalah:
1) Tidak saling
menyerang antara kaum muslimin dengan penduduk Makkah selama sepuluh tahun.
2) Kaum muslimin
menunda untuk Umroh dan diperbolehkan memasuki kota Makkah pada tahun
berikutnya dengan tidak membawa senjata kecuali pedang dalam sarungnya serta
senjata pengembara.
3) Siapa saja
yang datang ke Madinah dari kota Makkah harus dikembalikan ke kota Makkah.
4) Siapa saja
dari penduduk Madinah yang datang ke Makkah, maka tidak boleh dikembalikan ke
Madinah.
5) Kesepakatan
ini disetujui oleh kedua belah pihak dan tidak boleh ada pengkhianatan atau
pelanggaran
Kesepakatan lain dari Perjanjian Hudaibiyah ini
adalah siapa saja dari kabilah arab yang lain boleh masuk dalam perjanjian
Quraisy atau Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Dan perjanjian ini hanya
berlaku bagi laki-laki, sedangkan wanita tidak di ikut sertakan.
Terlaksananya ‘Umratul Qadha’
Pada Tahun Ke Tujuh Hijriyah
Akhirnya, setahun setelah
perjanjian ditandatangani dan disepakati, Nabi dan para sahabat dapat memasuki
kota Makkah untuk beribadah haji di Ka’bah. Kaum
musyrik Quraisy membiarkan mereka tinggal di Makkah selama tiga hari.
Kesempatan ini digunakan oleh Nabi untuk memanggil kaum muslim agar
bersiap-siap untuk berangkat menunaikan umrah, yang disebut ‘Umrah al-Qadha’, pengganti umrah yang tidak
terlaksana pada tahun sebelumnya karena dilarang kaum musyrik Quraisy.
لَقَدْ
صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ
الْحَرَامَ إِن شَاء اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَلِكَ فَتْحاً
قَرِيباً (الفتح: 27)
“Sesungguhnya Allah akan
membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan Sebenarnya
(yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah
dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang
kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan
dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat”. (Al Fath: 27)
Kaum Muslimin menyambut panggilan itu. Ada di antara
kaum Muhajirin yang sudah tujuh tahun meninggalkan Makkah, dan kaum Anshar yang
memang sudah punya hubungan dagang dengan Makkah sudah rindu sekali hendak
berziarah ke Ka’bah. Oleh karenanya anggota rombongan itu telah bertambah 2.000
orang dari 1.400 orang pada tahun yang lalu (tahun ke enam Hijiriyah).
Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, tidak
seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedang tersarung.
Namun Rasulullah masih selalu khawatir akan adanya pengkhianatan. Seratus orang
pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslamah disiapkan berangkat
lebih dulu dengan ketentuan jangan melampaui Makkah. Dan bila sampai di Marr’uz
Zahran supaya mereka menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari sana.
Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, tidak
seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedang tersarung.
Namun Rasulullah masih selalu khawatir akan adanya pengkhianatan. Seratus orang
pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslamah disiapkan berangkat
lebih dulu dengan ketentuan jangan melampaui Makkah. Dan bila sampai di Marr’uz
Zahran supaya mereka menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari sana.
Ternak kurban yang dibawa oleh kaum Muslimin
digiring didepan mereka, terdiri dari 60 ekor unta, didahului oleh Muhammad
diatas untanya sendiri al-Qashwa’. Kaum Muslimin berangkat dari Madinah dengan
hati penuh damba hendak memasuki Ummul Qura (Makkah) dan berthawaf di
Baitullah. Setiap Muhajirin menunggu ingin melihat daerah tempat ia dilahirkan,
ingin melihat rumah tempat ia dibesarkan, teman-teman yang ditinggalkan. Mereka
ingin menghirup udara harum tanah airnya yang suci itu, dengan penuh rasa
hormat dan syahdu ingin menyentuh tanah kudus yang penuh berkah itu. Tanah yang
telah melahirkan Rasul, dan tempat wahyu pertama kali diturunkan. Orang-orang yang sudah pernah
dirintangi hendak menunaikan kewajiban suci itu berangkat dengan penuh
kegembiraan, akan memasuki Makkah dalam keadaan aman, dengan bercukur rambut
tanpa merasa takut lagi.
Ketika Quraisy mengetahui
kedatangan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, mereka segera keluar dari Makkah,
sesuai dengan bunyi persetujuan Hudaibiyah. Mereka
pergi ke bukit-bukit terdekat dan mereka memasang kemah di tempat tersebut. Ada
pula yang berteduh di bawah-bawah pohon. Dari atas bukit Abu Qubais dan dari
atas Hira, atau dari semua ketinggian yang dapat langsung tembus Makkah,
orang-orang Quraiys hendak melihat kawan-kawannya yang dulu terusir. Kaum
Muslimin mendatangi Makkah dari arah utara. Abdullah bin Rawahah saat itu
memegang tali kekang Al-Qashwa’ (unta yang ditunggangi Rasulullah), sedang para
sahabat terkemuka lainnya berada di sekeliling Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam.
Barisan yang berjalan di belakang mereka itu
terdiri dari orang-orang yang berjalan kaki dan yang duduk di atas unta. Begitu
Rumah Suci (Ka’bah) terlihat di hadapan mereka, serentak kaum Muslimin
menggemakan kalimat talbiyah, “Labbaika, Allahumma labbaika!” Dengan
hati dan jiwa tertuju semata-mata kepada Allah Yang Maha Agung.
Berthawaf di Ka’bah
Pada pemandangan yang unik itulah mata penduduk
Mekah tertaut. Sementara suara yang keluar dari kalbu menggema: Labbaika,
labbaika! tetap menembus telinga dan menggetarkan jantung mereka.
Sesampainya Rasulullah di masjid, beliau menyelubungkan
dan menyandangkan kain jubahnya di badan dengan membiarkan lengan kanan terbuka
sambil mengucapkan: “Allahuma irham imra’an arahum al-yauma min nafsihi
quwatan.” (“Ya Allah, berikanlah rahmat
kepada orang, yang hari ini telah memperlihatkan kemampuan dirinya”)
Kemudian beliau menyentuh sudut hajar
aswad (batu hitam) dan berlari-lari kecil, yang diikuti oleh sahabat-sahabat,
juga dengan berlari-lari. Setelah menyentuh ar-rukn’l-yamani (sudut selatan) ia
berjalan biasa sampai menyentuh hajar aswad, lalu berlari-lari lagi berkeliling
sampai tiga kali dan selebihnya dengan berjalan biasa. Setiap beliau berlari,
kedua ribu kaum Muslimin itu juga ikut berlari-lari, dan setiap beliau berjalan
mereka pun ikut pula berjalan. Dalam pada itu pihak Quraisy menyaksikan semua
itu dari atas bukit Abu Qubais. Pemandangan ini sangat mempesonakan mereka.
Tadinya orang bicara tentang Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, bahwa mereka
sedang berada dalam kesulitan, dalam keadaan susah payah. Tetapi apa yang
mereka lihat sekarang ternyata menghapus segala anggapan tentang kelemahan
Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu.
Selesai berthawaf
mengelilingi Ka’bah, Rasulullah memimpin mereka berpindah ke bukit Shafa dan
Marwa yang dilalui dari atas kendaraannya sebanyak tujuh kali, seperti halnya
orang Arab dahulu. Kemudian mereka menyembelih
ternak kurban dan bercukur. Dengan demikian selesailah ibadah umrah tersebut.
Keesokan harinya (hari ke-2), Rasulullah
memasuki Ka’bah dan tinggal disana sampai waktu shalat dluhur. Pada waktu itu
berhala-berhala masih banyak memenuhi Ka’bah. Tetapi meskipun begitu, Bilal
naik juga ke atap Ka’bah lalu menyerukan adzan untuk menunaikan shalat dluhur
di tempat tersebut. Kemudian Nabi shalat dengan bertindak sebagai imam, atas
duaribu kaum Muslimin di Rumah Suci itu. Selama tujuh tahun sebelumnya mereka
terlarang melakukan shalat menurut pimpinan Islam di tempat itu.
Tiga Hari Di Makkah
Kaum Muslimin tinggal selama 3 hari di Makkah
seperti sudah ditentukan dalam Perjanjian Hudaibiya, sesudah kota itu
dikosongkan dari penduduk. Selama tinggal di situ kaum Muslimin tidak mengalami
sesuatu gangguan. Kalangan Muhajirin menggunakan kesempatan tersebut untuk
menengok rumah-rumah mereka dan mengajak pula sahabat-sahabatnya dari pihak
Anshar turut menengoknya. Seolah mereka semua adalah penduduk kota yang aman
itu. Mereka semua bertindak menurut tuntunan Islam, setiap hari menjalankan
kewajiban kepada Rabb mereka dengan melakukan shalat dan samasekali menghilangkan
sikap tinggi diri, yang kuat membimbing yang lemah, yang kaya membantu yang
miskin. Nabi sendiri di tengah-tengah mereka sebagai seorang ayah yang penuh
cinta dan dicintai. Yang seorang di ajaknya tertawa, yang lain di ajaknya
bergurau. Tetapi semua yang dikatakannya selalu yang sebenarnya.
Muslimin Kembali Ke Madinah
Kaum Muslimin sudah sampai dan sudah menetap
lagi di Madinah. Dalam pada itu Rasulullah pun yakin bahwa ‘umratul-qadha’ itu
telah meninggalkan pengaruh yang cukup besar dalam hati Quraisy dan seluruh
penduduk Makkah. Juga beliau yakin bahwa sebagai akibat semua itu akan timbul
pula peristiwa-peristiwa penting yang berjalan dengan cepat.
0 komentar:
Posting Komentar