Jumat, 02 Oktober 2015

Liqo4 IX: Perang Mu'tah

Perang mu’tah


Peperangan ini terjadi pada bulan Jumadil ‘Ula tahun ke-8 Hijriah. Mu’tah adalah sebuah desa yang terletak di perbatasan Syam. Desa ini sekarang bernama Kirk.
Pemicu peperangan ini adalah terbunuhnya Al Harits bin Umair al-Azdi, utusan Rasulullah Saw kepada Raja Bashra. 3000 orang tentara berkumpul usai Rasulullah Saw menyerukan supaya kaum muslimin agar berangkat menuju Syam. 
Rasulullah Saw sendiri tidak ikut serta bersama mereka. Dengan demikian, perang ini bukan ghazwah, melainkan sariyah. Namun demikian, hampir semua ulama sirah menamakannya ghazwah karena banyaknya jumlah kaum Muslimin yang berangkat dan arti penting yang dikandungnya. 

Sebelum berangkat, Rasulullah Saw berpesan kepada mereka, “Yang bertindak sebagai Amir (panglima perang) adalah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid gugur, Ja’far bin Abu Thalib penggantinya. Bila Ja’far gugur, Abdullah bin Rawahah penggantinya. Jika Abdullah bin Rawahah gugur, hendaklah kaum Muslimin memilih penggantinya.” Selanjutnya, Nabi Saw mewasiatkan kepada mereka agar sesampainya disana, mereka menyerang dengan meminta pertolongan kepada Allah.

Setelah kaum Muslimin bergerak meningalkan Madinah, musuh pun mendengar keberangkatan mereka. Mereka kemudian mempersiapkan pasukan yang jauh lebih besar guna menghadapi kekuatan kaum Muslimin. Heraklius
(hiroqlin) mengerahkan lebih dari 100.000 tentara romawi, sedangkan Syurahbil bin Amr mengerahkan 100.000 tentara yang terdiri atas kabilah Lakham, Judzan, Qain, dan Bahra’.

Mendengar berita ini, kaum Muslimin kemudian berhenti selama dua malam di daerah Mu’an guna merundingkan apa yang seharusnya dilakukan. Beberapa orang di antaranya berpendapat, “Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah Saw guna melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi atau memerintahan sesuatu yang harus kita lakukan.” Akan tetapi, Abdullah bin Rawahah tidak menyetujui pendapat tersebut. Ia bahkan mengobarkan semangat pasukan dengan ucapan berapi-api:

“Hai saudara-saudara, mengapa kalian tidak menyukai mati syahid yang menjadi tujuan kita berangkat ke medan perang ini! Kita berperang tidak mengandalkan banyaknya jumlah pasukan atau besarnya kekuatan, tetapi semata-mata berdasarkan agama yang dikaruniakan Allah kepada kita. Karena itulah, marilah kita maju! Tidak ada pilihan lain kecuali salah satu dari dua kebajikan: menang atu mati syahid.”

Lalu pasukan kedua belah pihak bertemu di Kirk. Dari segi jumlah personil dan senjata, kekuatan musuh jauh lebih besar dari kekuatan kaum Muslimin. Zaid bin Haritsah bersama kaum Muslimin bertempur menghadapi musuh hingga ia gugur di ujung tombak musuh. Ja’far kemudian mengambil alih panji peperangan dan maju menerjang musuh dengan berani. Di tengah sengitnya pertempuran, ia turun dari kudanya lalu membunuh, melesat, menerjang pasukan Romawi seraya bersyair,

“Alangkah dekatnya surga!
Harumnya semerbak dan segarnya minuman.
Kita hujamkan siksa ke atas orang-orang Romawi
Yang kafir nun jauh nasabnya
Pastilah aku yang memeranginya.”


Ia terus maju bertempur
dan mengalahkan banyak musuh sampai tangan kanan yang membawa panji islamnya terputus, kemudian diambil panji itu dengan tangan kiri, dan terputus lagi tangan kirinya. Dan diambilnya lagi panji islam didekap oleh dadanya sampai ia tertebas oleh pedang orang Romawi yang memotong tubuhnya menjadi dua. Di tubuhnya terdapat lima puluh tusukan. Semuanya di bagian depan. Panji peperangan kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia maju memimpin pertempuran seraya bermadah (bersyair),

“Wahai jiwa, engkau harus terjun
Dengan suka atau terpaksa.
Musuh-musuh telah maju ke medan laga.
Tidakkah engkau rindukan surga.
Telah lama engkau hidup tenang
Engkau hanya setetes air yang hina.”

Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu  berperang hingga mati syahid menyusul kedua rekannya. Agar bendera perang tidak jatuh maka mereka mengangkatnya dan bersepakat untuk menyerahkannya kepada Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu, maka beliau membawa bendera perang.
Setelah peperangan yang luar biasa, keesokan harinya Khalid radhiallahu ‘anhu –dengan kecerdasan siasat baru dengan mengubah posisi pasukannya dari semula; yaitu pasukan depan ke belakang dan sebaliknya, pasukan kanan ke kiri dan sebaliknya, sehingga tampak bagi musuh bahwa kaum muslimin mendapat bantuan tentara yang baru dan menimbulkan rasa takut dalam hati mereka dan menjadi sebab kekalahan mereka.
Setelah berperang lama, Khalid radhiallahu ‘anhu menilai bahwa kekuatan musuh jauh tidak sebanding dengan kekuatan kaum muslimin. Maka beliau menarik mundur pasukannya dengan selamat hingga ke Madinah, sedang musuh tidak mengejar mereka karena khawatir kalau-kalau ini dilakukan oleh kaum muslimin sebagai siasat perang untuk mengajak Romawi menuju medan perang yang lebih terbuka di padang pasir –yang akan merugikan Romawi.
Dalam perang ini, Khalid radhiallahu ‘anhu berperang habis-habisan hingga sembilan pedang patah di tangannya. Ini menunjukkan betapa besarnya peperangan tersebut dan betapa besar perjuangan para sahabat demi Islam. Dalam perang ini, ada 12 orang sahabat yang gugur dan syahid dijalan allah. Sementara jumlah korban yang tewas dari pihak musush tidak terhitung karena saking banyaknya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas ra bahwa sebelum kaum Muslimin mendengar berita gugurnya tiga orang panglima perang mereka, Rasulullah saw menyampaikan berita gugurnya  Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah kepada mereka. Beliau kemudian bersabda,“Zaid memegang panji, kemudian gugur. Panji itu diambil oleh Ja’far dan ia pun gugur. Panji itu diambil oleh Ibnu Rawahah dan ia pun gugur...” Saat itu, beliau meneteskan air mata seraya melanjutkan sabdanya, “... Akhirnya panji itu diambil oleh ‘Pedang Allah’ (Khalid bin Walid) dan akhirnya Allah mengaruniakan kemenangan kepada mereka (kaum Muslimin).”

Menjelang masuk kota Madinah, pasukan kaum Muslimin disambut oleh Rasulullah saw dan anak-anak yang berhamburan menjemput mereka. Rasulullah saw bersabda,“Ambillah anak-anak dan gendonglah mereka. Berikanlah kepadaku anak Ja’far!”Kemudian dibawalah Abdullah bin Ja’far dan digendong oleh Nabi Saw. 

Orang-orang meneriaki pasukan dengan ucapan, “Wahai orang-orang yang lari! Kalian lari dari jalan Allah.” Akan tetapi, Rasulullah saw membantah mereka dengan bersabda,“Mereka tidak lari (dari medan perang), tetapi mundur untuk menyerang bal
ik, insya Allah.”
PELAJARAN DARI KISAH:

  1. Boleh mengangkat beberapa pemimpin dalam satu waktu dengan syarat tertentu dan memimpin secara berurutan.
  2. Kaum muslimin mengangkat Khalid sebagai panglima perang merupakan dalil bolehnya ijtihad di masa hidupnya Rasulullah.
  3. Keutamaan tiga panglima (Zaid, Ja’far, Abdullah bin Rawahah) dan keutamaan Khalid bin Walid sebab dalam peperangan ini Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya dengan Saifullah(Pedang Allah).
  4. Salah satu mu’jizat rasulullah yang bisa mengetahui keadaan sahabatnya yang sedang berperang.
  5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih atas kematian tiga panglimanya, menunjukkan rahmatnya kepada umatnya dan bahwasanya beliau berusaha menentramkan jiwanya untuk bersabar terhadap musibah. Dan ini lebih baik daripada yang tidak sedih dan tidak tersentuh oleh musibah sama sekali.
  6. Hakikat hidup dan ‘izzah (kemuliaan) yang disingkap oleh Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhubahwa sesungguhnya kemenangan bukanlah karena kekuatan dan jumlah secara materi, melainkan agama dan ketaatan kepada Allah.

Liqo4 VII: peristiwa pembelahan dada Muhammad SAW.

Peristiwa pembelahan dada muhammad saw.

Suatu hari anakku dan Muhammad bermain-main bersama kambing-kambing kami di belakang tenda kami. Tiba-tiba anakku datang tergesa-gesa dan berkata, “Anak suku Quraisy itu telah dibunuh!” Aku dan suamiku segera mencarinya ke belakang rumah. Ia menemui kami dengan raut wajah yang pucat. Aku dan suamiku bergantian memeluknya.
Beberapa saat kemudian kami bertanya kepadanya, “Engkau kenapa?” Ia hanya bisa menjawab, “Aku tidak tahu. Tadi ada dua orang datang kepadaku, lalu keduanya membelah perutku dan mencucinya.”
Mendengar ceritanya itu, suamiku berkata, “Aku kira anak ini diserang (jin). Segeralah engkau mengembalikan anak ini kepada keluarganya, sebelum urusannya semakin besar saat berada di sini.” Suamiku terus mendesakku untuk berangkat ke Makkah. Atas desakan itu, aku segera membawanya kepada ibunya.
“Sebagai ibu susuannya, aku telah menyapihnya. Aku khawatir ia terkena musibah, untuk itu terimalah ia kembali.”
Aminah bertanya, “Kenapa engkau tidak ingin merawatnya lebih lama? Bukankah dahulu engkau meminta kepadaku agar ia engkau bawa saja? Mungkin engkau mengkhawatirkan setan menyerang anakku ini. Janganlah khawatir, anakku ini dilindungi dari setan. Aku akan memberitahukan kepadamu, saat aku melahirkannya, aku melihat dari tubuhku keluar sebuah cahaya yang menerangi istana-istana Bushra di negeri Syam.” 

Peristiwa pembelahan dada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam pada masa kanak-kanak saat diasuh oleh keluarga Halimah bintu Harits As-Sa’diyah ini merupakan peristiwa yang dituturkan oleh semua sejarawan Islam. Peristiwa tersebut juga disebutkan dalam hadits-hadits shahih dan hadits-hadits lemah dari berbagai jalur periwayatan. Di antaranya diriwayatkan oleh imam Muslim dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam didatangi oleh malaikat Jibril saat beliau sedang bermain dengan anak-anak sebayanya. Malaikat Jibril mengambil beliau, membaringkannya, membelah dadanya, mengeluarkan jantung (hati)nya dan mengeluarkan segumpal darah yang menggantung dari dalam jantung (hati)nya. Malaikat Jibril berkata, “Ini adalah bagian setan darimu.”
Malaikat Jibril kemudian mencuci jantung (hati) beliau dalam sebuah wadah yang terbuat dari emas dengan air zamzam, kemudian menyatukan jantung (hati)nya dan mengembalikannya ke tempatnya semula.
Anak-anak sebaya yang bermain bersama beliau bergegas mendatangi ibu susuan beliau dan berkata, “Muhammad telah dibunuh!” Maka mereka beramai-ramai mendatangi beliau dan saat itu wajah beliau berubah pucat karena takut. Anas bin Malik, “Saya telah melihat bekas jahitan itu pada dada beliau.” 

Hadits shahih lainnya tentang hal itu diriwayatkan oleh imam Ibnu Ishaq dan Ahmad dari Khalid bin Ma’dan dari beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum sebagai berikut:
Imam Ibnu Ishaq berkata, “Tsaur bin Yazid menceritakan kepadaku dari Khalid bin Ma’dan dari beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum, bahwasanya mereka pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, “Beritahukanlah perihal Anda kepada kami!”
Beliau menjawab, “Baiklah. Aku adalah buah dari doa nabi Ibrahim dan kabar gembira nabi Isa ‘alaihimas salam. Ketika ibuku mengandungku, ia melihat dari tubuhnya keluar sebuah cahaya yang menerangi istana-istana di negeri Syam. Aku kemudian disusukan pada Bani Sa’d bin Bakar. Suatu hari ketika aku sedang berada di belakang kandang kambing-kambing kami, tiba-tba datang kepadaku dua orang laki-laki yang memakai pakaian putih. Keduanya membawa sebuah wadah yang terbuat dari emas dan penuh berisikan es. Keduanya membaringkan diriku, membelah perutku, kemudian mengeluarkan jantung (hati)ku, lalu membelahnya dan mengeluarkan dari dalamnya satu gumpalan darah hitam, lalu keduanya membuangnya. Keduannya lalu mencuci jantung (hati)ku dan perutku dengan air es. Ketika keduanya telah selesai mencucui sampai bersih, keduanya mengembalikannya seperti semula.
Salah seorang di antara keduanya lalu berkata kepada kawannya, “Timbanglah ia dengan sepuluh orang dari umatnya!”
Ia pun menimbang diriku dengan sepuluh orang umatku, ternyata bobotku lebih berat daripada bobot mereka.
Salah seorang di antara keduanya lalu berkata kepada kawannya, “Timbanglah ia dengan seratus orang dari umatnya!”
Ia pun menimbang diriku dengan seratus orang umatku, ternyata bobotku lebih berat daripada bobot mereka.
Salah seorang di antara keduanya lalu berkata kepada kawannya, “Timbanglah ia dengan seribu orang dari umatnya!”
Ia pun menimbang diriku dengan seribu orang umatku, ternyata bobotku lebih berat daripada bobot mereka.
Salah seorang di antara keduanya lalu berkata kepada kawannya, “Biarkanlah ia, sebab seandainya engkau menimbang dirinya dengan seluruh umatnya, niscaya bobotnya lebih berat daripada bobot mereka semua.” 

Hadits-hadits tentang peristiwa itu juga diriwayatkan oleh imam Ad-Darimi, Al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Abu Nu’aim Al-Asbahani, Al-Baihaqi, Ibnu ‘Asakir, Ibnu Abi Ashim dan lain-lain. Kebenaran berita tentang hal itu tidak diragukan lagi. Semua kitab sirah nabawiyah juga telah menyebutkannya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam antara lain menuturkan:
“Salah seorang (malaikat) itu berkata kepada kawannya (malaikat lainnya): “Belahlah dadanya!” Maka salah satu dari keduanya mendekat kepada dadaku dan membelahnya, tanpa keluar darah dan tanpa ada rasa sakit. Kawannya berkata, “Keluarkanlah kedengkian dan rasa iri!” Maka kawannya mengeluarkan sesuatu seperti segumpal darah hitam dan membuangnya. Kawannya berkata kembali, “Masukkan kepadanya rasa kasih sayang dan rasa cinta!” Ternyata seperti yang dikeluarkan, menyerupai perak. Ia kemudian menggoyang-goyang jempol kaki kananku dan berkata: “Pulanglah dengan selamat!” Maka aku pun kembali dengan selamat, sehingga aku menjadi orang yang mengasihi anak-anak dan menyayangi orang-orang tua.”

Dalam hadits yang lain dari Anas bin Malik disebutkan apa yang diisikan ke dalam hati beliau pada peristiwa pembelahan dada yang pertama tersebut:

Dari Anas bin Malik dari Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bahwasanya malaikat Jibril mengeluarkan hati beliau ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari emas, kemudian malaikat Jibril mencucinya dan mengisinya dengan hikmah dan cahaya atau hikmah dan ilmu.” 

Selasa, 29 September 2015

Liqo3 IX: umrotul qadha

Sebelum memasuki uraian tentang umratul qadha’ yaitu umrah pengganti. Kita mesti mengetahui tentang perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara Kaum Muslimin Madinah, dalam hal ini dipimpin oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dengan kaum musyrikin Mekkah. Ini terjadi pada pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 setelah beliau hijrah dari Mekah ke Madinah.
Isi Perjanjian Hudaibiyah
Isi dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut adalah:
1)      Tidak saling menyerang antara kaum muslimin dengan penduduk Makkah selama sepuluh tahun.
2)      Kaum muslimin menunda untuk Umroh dan diperbolehkan memasuki kota Makkah pada tahun berikutnya dengan tidak membawa senjata kecuali pedang dalam sarungnya serta senjata pengembara.
3)      Siapa saja yang datang ke Madinah dari kota Makkah harus dikembalikan ke kota Makkah.
4)      Siapa saja dari penduduk Madinah yang datang ke Makkah, maka tidak boleh dikembalikan ke Madinah.
5)      Kesepakatan ini disetujui oleh kedua belah pihak dan tidak boleh ada pengkhianatan atau pelanggaran
Kesepakatan lain dari Perjanjian Hudaibiyah ini adalah siapa saja dari kabilah arab yang lain boleh masuk dalam perjanjian Quraisy atau Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Dan perjanjian ini hanya berlaku bagi laki-laki, sedangkan wanita tidak di ikut sertakan.
Terlaksananya ‘Umratul Qadha’ Pada Tahun Ke Tujuh Hijriyah
Akhirnya, setahun setelah perjanjian ditandatangani dan disepakati, Nabi dan para sahabat dapat memasuki kota Makkah untuk beribadah haji di Ka’bah. Kaum musyrik Quraisy membiarkan mereka tinggal di Makkah selama tiga hari. Kesempatan ini digunakan oleh Nabi untuk memanggil kaum muslim agar bersiap-siap untuk berangkat menunaikan umrah, yang disebut  ‘Umrah al-Qadha’, pengganti umrah yang tidak terlaksana pada tahun sebelumnya karena dilarang kaum musyrik Quraisy.

لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاء اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَلِكَ فَتْحاً قَرِيباً (الفتح: 27)
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan Sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat”. (Al Fath: 27)

Kaum Muslimin menyambut panggilan itu. Ada di antara kaum Muhajirin yang sudah tujuh tahun meninggalkan Makkah, dan kaum Anshar yang memang sudah punya hubungan dagang dengan Makkah sudah rindu sekali hendak berziarah ke Ka’bah. Oleh karenanya anggota rombongan itu telah bertambah 2.000 orang dari 1.400 orang pada tahun yang lalu (tahun ke enam Hijiriyah).
Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, tidak seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedang tersarung. Namun Rasulullah masih selalu khawatir akan adanya pengkhianatan. Seratus orang pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslamah disiapkan berangkat lebih dulu dengan ketentuan jangan melampaui Makkah. Dan bila sampai di Marr’uz Zahran supaya mereka menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari sana. 
Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, tidak seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedang tersarung. Namun Rasulullah masih selalu khawatir akan adanya pengkhianatan. Seratus orang pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslamah disiapkan berangkat lebih dulu dengan ketentuan jangan melampaui Makkah. Dan bila sampai di Marr’uz Zahran supaya mereka menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari sana.
Ternak kurban yang dibawa oleh kaum Muslimin digiring didepan mereka, terdiri dari 60 ekor unta, didahului oleh Muhammad diatas untanya sendiri al-Qashwa’. Kaum Muslimin berangkat dari Madinah dengan hati penuh damba hendak memasuki Ummul Qura (Makkah) dan berthawaf di Baitullah. Setiap Muhajirin menunggu ingin melihat daerah tempat ia dilahirkan, ingin melihat rumah tempat ia dibesarkan, teman-teman yang ditinggalkan. Mereka ingin menghirup udara harum tanah airnya yang suci itu, dengan penuh rasa hormat dan syahdu ingin menyentuh tanah kudus yang penuh berkah itu. Tanah yang telah melahirkan Rasul, dan tempat wahyu pertama kali diturunkan. Orang-orang yang sudah pernah dirintangi hendak menunaikan kewajiban suci itu berangkat dengan penuh kegembiraan, akan memasuki Makkah dalam keadaan aman, dengan bercukur rambut tanpa merasa takut lagi.
Ketika Quraisy mengetahui kedatangan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, mereka segera keluar dari Makkah, sesuai dengan bunyi persetujuan Hudaibiyah. Mereka pergi ke bukit-bukit terdekat dan mereka memasang kemah di tempat tersebut. Ada pula yang berteduh di bawah-bawah pohon. Dari atas bukit Abu Qubais dan dari atas Hira, atau dari semua ketinggian yang dapat langsung tembus Makkah, orang-orang Quraiys hendak melihat kawan-kawannya yang dulu terusir. Kaum Muslimin mendatangi Makkah dari arah utara. Abdullah bin Rawahah saat itu memegang tali kekang Al-Qashwa’ (unta yang ditunggangi Rasulullah), sedang para sahabat terkemuka lainnya berada di sekeliling Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Barisan yang berjalan di belakang mereka itu terdiri dari orang-orang yang berjalan kaki dan yang duduk di atas unta. Begitu Rumah Suci (Ka’bah) terlihat di hadapan mereka, serentak kaum Muslimin menggemakan kalimat talbiyah, “Labbaika, Allahumma labbaika!” Dengan hati dan jiwa tertuju semata-mata kepada Allah Yang Maha Agung.

Berthawaf di Ka’bah
Pada pemandangan yang unik itulah mata penduduk Mekah tertaut. Sementara suara yang keluar dari kalbu menggema: Labbaika, labbaika! tetap menembus telinga dan menggetarkan jantung mereka.
Sesampainya Rasulullah di masjid, beliau menyelubungkan dan menyandangkan kain jubahnya di badan dengan membiarkan lengan kanan terbuka sambil mengucapkan: “Allahuma irham imra’an arahum al-yauma min nafsihi quwatan.” (“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada orang, yang hari ini telah memperlihatkan kemampuan dirinya”)
 Kemudian beliau menyentuh sudut hajar aswad (batu hitam) dan berlari-lari kecil, yang diikuti oleh sahabat-sahabat, juga dengan berlari-lari. Setelah menyentuh ar-rukn’l-yamani (sudut selatan) ia berjalan biasa sampai menyentuh hajar aswad, lalu berlari-lari lagi berkeliling sampai tiga kali dan selebihnya dengan berjalan biasa. Setiap beliau berlari, kedua ribu kaum Muslimin itu juga ikut berlari-lari, dan setiap beliau berjalan mereka pun ikut pula berjalan. Dalam pada itu pihak Quraisy menyaksikan semua itu dari atas bukit Abu Qubais. Pemandangan ini sangat mempesonakan mereka. Tadinya orang bicara tentang Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, bahwa mereka sedang berada dalam kesulitan, dalam keadaan susah payah. Tetapi apa yang mereka lihat sekarang ternyata menghapus segala anggapan tentang kelemahan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu.
Selesai berthawaf mengelilingi Ka’bah, Rasulullah memimpin mereka berpindah ke bukit Shafa dan Marwa yang dilalui dari atas kendaraannya sebanyak tujuh kali, seperti halnya orang Arab dahulu. Kemudian mereka menyembelih ternak kurban dan bercukur. Dengan demikian selesailah ibadah umrah tersebut.
Keesokan harinya (hari ke-2), Rasulullah memasuki Ka’bah dan tinggal disana sampai waktu shalat dluhur. Pada waktu itu berhala-berhala masih banyak memenuhi Ka’bah. Tetapi meskipun begitu, Bilal naik juga ke atap Ka’bah lalu menyerukan adzan untuk menunaikan shalat dluhur di tempat tersebut. Kemudian Nabi shalat dengan bertindak sebagai imam, atas duaribu kaum Muslimin di Rumah Suci itu. Selama tujuh tahun sebelumnya mereka terlarang melakukan shalat menurut pimpinan Islam di tempat itu.
Tiga Hari Di Makkah
Kaum Muslimin tinggal selama 3 hari di Makkah seperti sudah ditentukan dalam Perjanjian Hudaibiya, sesudah kota itu dikosongkan dari penduduk. Selama tinggal di situ kaum Muslimin tidak mengalami sesuatu gangguan. Kalangan Muhajirin menggunakan kesempatan tersebut untuk menengok rumah-rumah mereka dan mengajak pula sahabat-sahabatnya dari pihak Anshar turut menengoknya. Seolah mereka semua adalah penduduk kota yang aman itu. Mereka semua bertindak menurut tuntunan Islam, setiap hari menjalankan kewajiban kepada Rabb mereka dengan melakukan shalat dan samasekali menghilangkan sikap tinggi diri, yang kuat membimbing yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Nabi sendiri di tengah-tengah mereka sebagai seorang ayah yang penuh cinta dan dicintai. Yang seorang di ajaknya tertawa, yang lain di ajaknya bergurau. Tetapi semua yang dikatakannya selalu yang sebenarnya. 
Muslimin Kembali Ke Madinah

Kaum Muslimin sudah sampai dan sudah menetap lagi di Madinah. Dalam pada itu Rasulullah pun yakin bahwa ‘umratul-qadha’ itu telah meninggalkan pengaruh yang cukup besar dalam hati Quraisy dan seluruh penduduk Makkah. Juga beliau yakin bahwa sebagai akibat semua itu akan timbul pula peristiwa-peristiwa penting yang berjalan dengan cepat. 

Liqo3 VII: kelahiran dan disusuinya nabi muhammad

Kelahiran rasulullah saw.
Rasulullah saw. lahir pada hari senin, 12 rabiul awal tahun gajah. Atau 21 april tahun 571 M. Rasulullah lahir dalam keadaan yatim, ayahnya meninggal saat ibunya mengandung. Ketika rasulullah saw. lahir, ibunya mengutus beliau kepada kakeknya yaitu abdul muthalib agar mengumumkan kabar gembira tsb kepada masyarakat quraisy. Kemudian abdul mutholib memangku rasulullah dan membawanya masuk kedalam ka’bah. semua keluarga rasul sangat senang, termasuk paman-pamannya. Maka abdul mutholib pun berdoa dan bersyukur kepada allah atas kelahiran cucunya tersebut.
Hikmah dari kelahiran rasulullah dalam keadaan yatim
Sebagai pengemban da’wah, permasalahan yatim dan kehidupan adalah hal kecil yang dapat menjadikan seorang da’i atau pemimpin lebih peka dan sayang terhadap orang yatim, dhuafa dan orang orang lemah dan menjadikan mereka sebagai prioritas dari yang lainnya. Setiap da’i atau pemimpin perlu memiliki besarnya kepekaan yang bisa menjadikan ia ikut merasa perih dan prihatin dengan kondisi orang-orang lemah. Dan rasa peka itu tidak ada mata pelajarannya kecuali ada dalam pelajaran kehidupan yang dilalui.
Disusuinya nabi muhammad
Wanita pertama yang menyusui nabi muhammad setelah ibundanya adalah tsuaybah, budaknya abu lahab.
Dan waktu itu, kebiasaan orang arab adalah mencarikan wanita badui untuk menyusui anak-anak mereka. Supaya anak-anak mereka memiliki tubuh yang kuat dan fasih berbicara bahasa arab. Berkat kehendak allah swt. yang menjadi ibu susunya rasulullah adalah halimatussa’diyah.
Halimah berkisah bahwa dia pergi meninggalkan daerah tempat tinggalnya bersama suaminya al-harits bin abdul ‘uzza dan anaknya yang masih menyusu, yaitu abdullah bin al-harits. Sudah menjadi kebiasaan para wanita bani sa’ad mencari pekerjaan sebagai tukang menyusui bayi. Sehingga, ketika musim paceklik tiba dan mereka sudah tidak memiliki apa-apa lagi.... halimah berkata, “aku memiliki keledai betina yang warnanya agak hijau dan unta betina yang sudah tua. Demi allah, unta betina itu tidak menghasilkan susu setetespun, sehingga kami setiap malam tidak dapat tidur, sebab bayi kami terus menangis karena lapar, air sususku tidak mencukupi, sedang air susu untaku tidak membuatku kenyang, namun kami terus berharap untuk mendapatkan pertolongan dan kemudahan hidup. Aku pergi mengendarai keledaiku, ketika aku sudah merasa lelah dan kurus karena perjalanan yang sangat jauh, maka sampailah aku di mekkah. Di mekkah aku menawarkan jasa sebagai tukang menyusui bayi. Namun, tidak satupun wanita yang menawarkan bayinya untuk disusukan kepadaku, kecuali satu orang wanita saja, yaitu aminah yang menawarkan rasulullah saw. awalnya, aku tidak mau menerimanya, sebab dia itu yatim, sedang aku berharap mendapatkan bayi yang ayahnya masih hidup. Sebab, kalau anak itu yatim, apa yang akan diperbuat oleh ibu dan kakeknya, aku tidak suka itu. Melihat semua wanita dari bani sa’ad telah mendapatkan bayi untuk disusuinya, kecuali aku, maka ketika kami hendak kembali, aku berkata pada suamiku, demi allah, aku tidak akan pulang tanpa membawa bayi yang akan aku susui.  Demi allah, aku akan pergi mengambil bayi yatim itu. Suamiku berkata, “lakukanlah, mudah-mudahan allah memberi kita berkah dengan adanya bayi itu.”
Halimah berkata: “akupun pergi mengambil bayi itu, lalu aku gendong dia menuju kendaraanku. Ketika aku taruh dia dipangkuanku, maka air susuku menjadi deras, sehingga dia dan saudaranya dapat minum dengan puas, lalu keduanya tidur. Kami pun dapat merasakan tidur nyenyak yang sebelumnya tidak pernah kami rasakan. Dan ketika suamiku pergi melihat unta kami, maka ia mendapatinya sedang penuh air susunya. Lalu suamiku mengambil air susunya untuk kami minum bersama-sama hingga kami merasa puas dan kenyang. Itulah malam pertama yang kami lalui dengan kebaikan dan kebahagiaan.
Halimah berkata, “ketika pagi suamiku berkata: ‘ketahuilah! Hai halimah, sugguh kamu telah mengambil manusia pembawa berkah.’ Aku berkata: ‘demi allah, memang itu yang aku harapkan.’ Kemudian kami pergi. Sedang aku dan bayi yatim yang aku bawa menunggang keledaiku. Demi allah, keledaiku mampu menempuh perjalanan yang tidak mampu dilalui oleh keledai-keledai yang lain. Sehingga teman-temanku berkata padaku: ‘hai anak perempuan abi duaib, lihatlah kami, tidakkah ini keledaimu yang kamu tunggangi sebelumnya? Aku berkata: tentu, keledai ini adalah keledai yang aku tunggangi sebelumnya.’ Mereka berkata: ‘demi allah sekarang keledaimu lain daripada yang lain.’ Tidak lama kemudian, kami pun sampai dirumah didaerah bani sa’ad tanah didaerah bani sa’ad erupakan tanah yang paling gersang yang ada di bumi allah ini. Namun, ketika kami sampai dirumah, kami dapati kambing kambing kami sudah kenyang dan putingnya penuh dengan susu. Lalu kami memerasnya dan meminumnya. Sedang kambing tetanggaku tidak didapati setetespun air susu dari putingnya. Sehingga mereka berkata kepada tukang gembalanya: “gembalakanlah kambing-kambing ini dimana kambing halimah digembalakan.” Meski demikian, kambing mereka pulang dalam keadaan lapar dan tidak memiliki susu setetespun. Sedang kambing kambing kami, pulang dalam keadaan kenyang dan penuh dengan air susu.
Kami senantiasa mendapatkan tambahan kebaikan dari allah hingga muhammad berumur dua tahun dan aku menyapihnya. Muhammad mengalami pertumbuhan yang cepat, tidak seperti anak-anka yang lain. Ketika umurnya masih belum mencapai dua tahun dia sudah kelihatan sebagai anak yang kekar dan kuat. Kami kembalikan dia pada ibunya, Padahal kami masih sangat ingin dia tinggal bersama kami, sebab kami melihat berkah yang ada padanya. Kami memohon kepada ibunya, agar mengijinkan muhammad tetap tinggal bersama kami hingga besar dan kuat, dan dia mengijinkannya.

Liqo2 IX: perang dzat ar-riqa'

PEPERANGAN DZAT AR-RIQA'

KENAPA DINAMAKAN DZAT AR-RIQA’
Dalam Shahîhul Bukhâri
dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu disebutkan, "Dinamakan Dzât ar-Riqâ’ (secara bahasa artinya tambalan-red) karena para Sahabat menambal luka pada kaki mereka dengan kain, akibat menempuh perjalanan dengan jalan kaki karena kendaraan (tunggangan) sangat terbatas, sehingga mereka terpaksa bergiliran untuk mengendarainya. Satu kendaraan untuk enam orang secara bergantian.

SEBAB PEPERANGAN 
karena penghiantan yang dilakukan oleh orang orang najd yang membunuh 70 da’i kiriman rasulullah saw. dan ketika mendengar berita bahwa Bani Ammar atau Tsa’labah dan Bani Muharib telah berkumpul untuk menyerang Madinah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera keluar bersama 400 atau 700 Sahabat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih Abu Dzar Radhiyallahu anhu untuk menggantikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.

Dalam peperangan ini tidak terjadi kontak senjata antara kedua pasukan. Namun keduanya khawatir kalau-kalau musuh tiba-tiba menyerang. Sehingga Rasullullah n beserta para shahabat melaksakan shalat khauf.

PERISTIWA-PERISTIWA PENTING 
Pada masa-masa peperangan ini terjadi beberapa peristiwa penting yang di alami Rasûlullâh dan para sahabatnya :

1. Percobaan Pembunuhan Terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ketika Rasûlullâh dan para Sahabat kembali dari perang Dzatir Riqâ’, tepatnya menjelang siang, saat terik matahari menyengat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tiba di lembah yang rindang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di bawah salah satu pohon, sementara para shahabat berpencar mencari tempat untuk berteduh dan istirahat.

Perawi peristiwa ini yaitu Jâbir mengatakan, "Ketika kami tiduran, tiba-tiba Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kami. Kami mendatangi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami dapati Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seorang badui. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita, "Orang ini mengambil pedangku ketika aku sedang tertidur kemudian menghunusnya dan mengatakan, 'Siapa yang membelamu dari saya ?' Saya (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam )menjawab, 'Allah
’ dan mengulanginya sampai tiga kali, orang itupun menyimpan kembali pedangku kedalam sarungnya.

Jâbir Radhiyallahu anhu mengatakan, "Rasulullah n tidak menghukum orang tersebut.
" Lalu turun firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَن يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ 

Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allâh kepadamu, saat suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), lalu Allâh menahan tangan mereka dari kamu. dan bertakwalah kepada Allâh [Al-Maidah/5:11] 

2. Kisah Dua Shahabat Yang Berjaga
Dalam perjalanan pulang, kaum Muslimin menahan seorang wanita musyrikin, sehingga suaminya bernadzar untuk tidak kembali sampai dapat membalas dengan membunuh atau melukai salah seorang Sahabat dan membawa istrinya kembali. Pada malam itu dia datang, sementara Rasûlullâh telah memerintahkan dua orang yaitu Abbâd bin Bisyr
(anshory) dan Ammâr bin Yâsir (muhajirin) untuk berjaga. Abbad pun berjaga di awal malam. Kemudian, ia sholat untuk menghilangkan suntuk sedang ammar masih tertidur. Kemudian dibalik pepohonan orang itu mengendap endap dan memanah Abbâd bin Bisyr Ra. yang tengah shalat. Abbad Radhiyallahu anhu mencabut anak panah itu tanpa memutus shalat, sehingga seketika salam tiga anak panah telah melaukainya. Setelah itu, beliau Radhiyallahu anhu membangunkan Ammâr.

Ammâr kaget dan mengatakan, "Subhanallah, kenapa engkau tidak membangunkanku ? 

Abbâd Radhiyallahu anhu menjawab, "Saya sedang melaksakan shalat dan membaca surat al-Qur’ân yang tidak ingin saya potong sebelum selesai. Ketika ia terus membidikkan panahnya kepadaku, saya ruku’ kemudian membangunkanmu. Demi Allâh ! Seandainya saya tidak khawatir menyia-nyiakan tugas yang di perintahkan Rasulullah, niscaya nyawaku hilang sebelum saya menyelesaikan shalat.

3. Kisah Jâbir Radhiyallahu anhu 
Kisah ini berawal dari pertanyaan Rasûlullâh ke Jâbir mengapa ontanya sangat lambat ?
Jâbir Radhiyallahu anhu menjawab, "Ontanya lelah." Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dan menyentuh onta itu dengan tongkat seraya berdoa. Setelah itu, onta milik Jâbir berjalan lebih cepat dan mendahului onta Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jâbir berusaha menahannya agar tidak mendahului Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, "Apakah kamu sudah menikah ?" Jâbir menjawab, "Ya" Rasûlullâh melanjutkan, "Apakah engkau menikahi gadis atau janda ?" Jâbir menjawab, "Saya menikahi janda."
Rasûlullâh, "Apakah engkau tidak menikahi gadis yang bisa engkau ajak bercengkerama dan tertawa?"
Lalu Jâbir menjelaskan kenapa menikahi janda ? Yaitu karena ayahnya meninggalkan beberapa anak perempuan yang masih perlu perhatian dan beliau ingin ada yang bisa mengurusi mereka. Dan ini bisa dilakukan oleh wanita yang lebih tua dari mereka. Selanjutnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Maukah kau jual ontamu ?" Jâbir Radhiyallahu anhu pun sepakat menjual ontanya kepada Rasûlullâh seharga 40 dirham.
Dalam riwayat lain disebutkan, Jâbir Radhiyallahu anhu ingin menghadiahkannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mau mengambilnya kecuali dengan harga.

Keesokan harinya, Jâbir membawa ontanya ke Rasûlullâh dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam minta Bilal menyerahkan bayarannya dengan sedikit tambahan dari harga semestinya. Ketika Jâbir Radhiyallahu anhu hendak pergi, Rasûlullâh memanggilnya dan mengembalikan ontanya.

PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DARI PEPERANGAN DZAT AR-RIQA’
1. Pensyariatan shalat khauf saat kondisi perang menunjukkan keagungan shalat. Kewajiban melaksanakannya tidak gugur meski dalam kondisi perang. Ini juga mengisyaratakan, wajibnya shalat berjamaah. Karena kalau sunat, tentu situasi perang merupakan alasan tertepat untuk meninggalkannya.

2. Meneladani sifat pemaaf Rasûlullâh kepada semua orang sekalipun orang itu berencana membunuhnya

3. Mengharapkan pertolongan dan bertawakkal hanya kepada Allâh Azza wa Jalla .

4. Dalam kisah Rasûlullâh bersama badui terdapat tanda kenabian, keberanian serta keyakinan beliau yang kuat dan kesabaran beli
au menghadapi cobaan dan sabar menghadapi orang yang tidak tahu.

5. Melaksa
nakan ibadah tanpa meninggalkan tanggung jawab yang dipikulnya. Ini diambil dari kisah Abbâd yang menyelesaikan shalatnya karena merasa bertanggung jawab menjaga kaum muslimin sebagaimana perintah Rasulullah.

6. Empati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat merupakan tauladan yang patut dicontoh oleh setiap pemimpin.

Liqo1 IX: perang khaibar

Perang khaibar
Khaibar terletak sekitar 100 km dari syam. Kota ini terkenal dengan benteng-bentengnya yang menjulang tinggi dan sawah sawahnya yang subur.
Khaibar adalah daerah yang ditempati oleh kaum Yahudi setelah diusir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah tatkala mereka melanggar perjanian damai. Di sana mereka menyusun makar untuk melampiaskan dendamnya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Islam, dan kaum muslimin.
Dendam Yahudi memang telah menumpuk; mulai terusirnya Bani Qainuqa, Bani Nadhir, terbunuhnya dua tokoh mereka, hingga pembantaian terhadap Bani Quraizhah dan sejumlah tokoh mereka yang dibunuh oleh kaum muslimin.
Telah lewat pembahasan bahwa kaum Yahudi adalah penggerak pasukan Ahzab pada Perang Khandaq. Ini berarti kali yang keempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi umat Yahudi agar kita mengetahui bagaimana sejarah hitam umat Yahudi dan dendam mereka yang sangat mendalam terhadap Islam.
Adapun sebab terjadinya perang adalah, nabi muhammad ingin menghukum orang orang yahudi yang dulu telah menyerang kaum muslimin ketika perang khandaq.
Kemudian, rasulullah saw. menyuruh para sahabat yang ingin ikut, bersiap siap untuk melaksanakan perang. Dan diakhir muharram tahun ke-7 H nabi bersama para sahabat yang jumlahnya 1400 orang berangkat menemui mereka.
Setelah keberangkatan kaum muslimin, pemimpin munafiqin yaitu abdullah bin ubay bin salul mengutus seseorang agar memberitahukan kedatangan nabi dan pasukannya yang sedang berangkat menuju khaibar dan dia juga menyuruh mereka untuk memerangi kaum muslimin. Ketika pasukan yahudi tahu kabar tersebut, mereka minta bantuan dari penduduk ghatfan untuk menyerang muslimin. Sebagai imbalannya mereka akan dikasih setengah hasil panen.
Ketika diperjalanan, ternyata pasukan muslimin meniti jalan menuju ghatfan seolah olah mereka ingin menyerang ghatfan. Dan posisi pasukan ghatfan sudah berada dikhaibar ketika mereka tahu berita kedatangan pasukan muslim ke daerahnya. Sontak merekapun langsung kembali ke ghatfan karena takut pasukan muslim menyerang daerahnya.
Setelah berhasil menipu ghatfan, pasukan muslimpun berubah haluan, mereka meniti jalan menuju khaibar. Dari tabiat rasulullah saw. ketika berperang adalah menunggu sampai subuh, maka pada malam harinya ia tidur dipinggiran khaibar sedang orang yahudi tidak mengetahuinya. dipagi harinya, rasulullah berangkat menuju mereka dan bertemu petani yang hendak berangkat kesawah. Merekapun berteriak “muhammad dan pasukannya” sambil lari kabur. Rasulullah berkata: “allahu akbar,  hancurlah khaibar, sesungguhnya ketika kita mendengar teriakan mereka maka hancurlah ia.”
Kaum muslimin menyerang dan mengepung benteng-benteng Yahudi, tetapi sebagian sahabat pembawa bendera perang tidak berhasil menguasai dan mengalahkan mereka hinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Besok akan kuserahkan bendera perang kepada seseorang yang Allah dan Rasul-Nya mencintai dan dia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memenangkan kaum muslimin lewat tangannya.” Maka para sahabat bergembira dengan kabar ini dan semua berharap agar bendera tersebut akan diserahkan kepadanya, hingga Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah menginginkan kebesaran, kecuali pada Perang Khaibar.”
Pada pagi hari itu para sahabat bergegas untuk berkumpul di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing berharap akan diserahi bendera komando. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dimanakah Ali?” Meraka menjawab, “Dia sedang sakit mata, sekarang berada di perkemahannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Panggillah dia.” Maka mereka memanggilnya. Ali radhiallahu ‘anhu datang dalam keadaan sakit mata (trahom), lalu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi matanya dan sembuh seketika, seakan-akan tidak pernah merasakan sakit. Beliau menyerahkan bendera perang dan berwasiat kepadanya, “Ajaklah mereka kepada Islam sebelum engkau memerangi mereka. Sebab, demi Allah, seandainya Allah memberi hidayah seorang di antara mereka lewat tanganmu maka sungguh itu lebih baik bagimu dari pada onta merah (harta bangsa Arab yang paling mewah ketika itu).” (Muslim)
Perang Tanding
Tatkala berlangsung pengepungan benteng-benteng Yahudi, tiba-tiba pahlawan andalan mereka bernama Marhab menantang dan mengajak sahabat untuk perang tanding. Amir bin Akwa radhiallahu ‘anhumelawannya dan beliau terbunuh mati syahid. Lalu Ali radhiallahu ‘anhu melawannya hingga membunuhnya dan menyebabkan runtuhnya mental kaum Yahudi dan sebagai sebab kekalahan mereka.
Benteng Khaibar terdiri dari tiga lapis, dan masing-masing terdiri atas tiga benteng. Kaum muslimin memerangi dan menguasai benteng demi benteng. Setiap kali Yahudi kalah dari pertahanan pada satu benteng, mereka berlindung dan berperang dalam benteng lainnya hingga kemenagan mutlak berada di tangan kaum muslimin.
Korban Perang
Dalam peperangan ini terbunuh dari kaum Yahudi puluhan orang, sedang wanita dan anak-anak ditawan. Termasuk dalam tawanan adalah Shofiyah binti Huyai yang jatuh di tangan Dihyah al-Kalbi lalu dibeli oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam darinya. Beliau mengajaknya masuk Islam lalu menikahinya dengan mahar memerdekakannya. Adapun yang mati syahid dari kaum muslimin sebanyak belasan orang.
Di antara yang mati syahid adalah seorang badui yang datang dan masuk Islam dan memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk hijrah dan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemperoleh rampasan Perang Khaibar maka beliau memberinya bagian, tetapi dia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mengikutimu bukan untuk tujuan ini, melainkan agar aku terkena panah di sini (sambil memberi isyarat pada lehernya) sehingga aku masuk surga.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan, “Jika kamu jujur kepada Allah maka pasti Allah buktikan.” Tidak lama kemudian jenazahnya dibawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terluka pada tempat yang dia isyaratkan sebelumnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Orang ini jujur kepada Allah. Oleh karenanya, Allah memenuhi niatnya yang baik.” Lalu beliau mengafaninya dan memakamkannya. (Mushonnaf Abdurrozaq dengan sanad yang baik, 5:276)
Daging Beracun
Kaum Yahudi tidak pernah dan tidak akan berhenti dari makar buruk terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Islam karena tabiat mereka, sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam Alquran:
Mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak.” (QS. Ali Imron: 112)
Tatkala mereka kalah dari Perang Khaibar dan beberapa kali upaya untuk membunuh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam gagal, maka mereka bermaksud untuk membunuh beliau dengan siasat baru. Seorang wanita Yahudi berperan besar dalam makar buruk ini, yaitu memberi hadiah berupa menyuguhkan hidangan daging kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyisipkan racun yang banyak padanya.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan, daging tersebut mengabari beliau bahwa ia beracun. Maka beliau memuntahkannya. Ini merupakan mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang lebih mulia daripada mukjizat Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang memahami bahasa semut sebab ia makhluk hidup yang bernyawa memiiki mulut untuk berbicara, sedangkan sepotong daging tersebut sebagai makhluk yang mati bahkan telah matang dipanggang dengan api.
Adapun Bisri bin Baru radhiallahu ‘anhu, yang ikut makan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal dunia karena racun tersebut. Sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammembunuh wanita ini sebagai qishosh.
Perdamaian
Setelah umat Yahudi kalah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud untuk mengusir mereka dari Khaibar. Akan tetapi mereka memohon kepada beliau agar membiarkan mereka mengurusi pertanian dengan perjanjian bagi hasil, maka Rasulullah menerima permohonan itu dengan syarat kapan saja beliau menghendaki maka beliau berhak untuk mengusir mereka. Hingga akhirnya mereka diusir oleh Umar bin Khaththab di zaman kekhalifahannya setelah beberapa kali mereka berbuat kejahatan terhadap kaum muslimin.
Pembagian Rampasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi rampasan perang kepada sahabat yang ikut perang yang berjumlah 1400 orang. Namun, seusai perang ini para rombongan Muhajirin berjumlah 53 orang dari Habasyah yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu datang dan bertemu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam di Khaibar. Beliau sangat gembira dengan kedatangan mereka. Beliau merangkul Ja’far radhiallahu ‘anhu serta menciumnya seraya bersabda, “Aku tidak mengetahui apakah aku bergembira karena menang dari Khaibar ataukah karena kedatangan rombongan Ja’far.” (Shahih Abu Dawud: 5220)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mereka bagian dari rampasan perang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi bagian kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan beberapa orang dari suku Daus yang baru datang dalam keadaan Islam. Semua ini beliau lakukan dengan izin dan keikhlasan dari sahabat yang ikut Perang Khaibar dan karena mereka ini terhalang oleh udzur, jika tidak maka pasti mereka akan ikut berperang.